Kamis, 27 Desember 2012

Geollogi Regional Pare-Pare Pinrang


BAB II
GEOLOGI UMUM

II.1    Geomorfologi Regional.
Kenampakkan bentang alam di daerah Pinrang umumnya merupakan daerah pantai serta pegunungan dan perbukitan dimana puncaknya sudah nampak meruncing dan sebagian lagi nampak membulat. Perbedaan tersebut disebabkan oleh karekteristik masing-masing batuannya, pengaruh struktur  dan tingkat perkembangan erosi yang telah berlangsung dan akhirnya menghasilkan kenampakkan bentang alam
seperti yang nampak sekarang ini.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pengelompokkan satuan morfologi daerah Pinrang dapat dibagi berdasarkan pada struktur geologi dan batuan penyusunnya serta proses geomorfologi yang mempengaruhi bentuk permukaan bumi yang nampak sekarang. Berdasarkan atas kenampakan relief dan ketinggiannya, maka
daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua satuan morfologi yaitu :
1.   Satuan Morfologi Berelief Sedang
2.   Satuan Morfologi Berelief Rendah.
II.1.1   Satuan Morfologi Berelief Sedang
Satuan ini terletak di bagian selatan yang meliputi seperempat bagian dari daerah penelitian dengan ketinggian antara 100 meter sampai 375 meter. Satuan ini berupa rangkaian perbukitan yang agak rapat dimana puncak-puncaknya relatif runcing yang terdiri dari Bukit Batu, Bukit Tolong dan Bukit Lakaliki. Secara umum batuan penyusun dari satuan morfologi ini adalah batuan yang relatif resisten terhadap pelapukan yakni satuan breksi vulkanik.
Bukit batu terletak di sebelah Utara yang memanjang dari Utara ke Selatan dengan ketinggian puncak 126 meter, dimana kemiringan lereng di bagian Selatan antara 30o – 60o, sedangkan di bagian Utara kemiringan lereng antara 10o – 25o. Oleh karena perbukitan tersebut melandai ke Utara, sedangkan lereng pada sebelah Selatan merupakan suatu tebing, maka perbukitan tersebut adalah suatu puncak “Questa”.
Bukit Tolong terletak di sebelah Selatan Yang memanjang dari Timur Luat –
Barat Daya dengan ketinggian puncak 285 meter, sedang kemiringan lereng di bagian Barat yaitu antara 15o – 30o, dan kemiringan lereng di bagian Timur antara 45o – 80o ke arah Timur. Oleh karena perbukitan tersebut melandai ke arah Barat sedangkan lereng di sebelah Timur merupakan suatu tebing yang curam, maka perbukitan
tersebut adalah suatu puncak “Questa”.

II.1.2   Satuan Morfologi Berelief Rendah
Satuan ini meliputi tiga perempat dari daerah penelitian yang terletak sebagian diantara Bukit Tolong dan Bukit Lakaliki yakni mulai dari Kampung Mangimpuru di bagian Selatan sampai ke bagian Utara Desa Lapede. Daerah ini merupakan perbukitan yang renggang dengan puncak-puncaknya sudah membulat, dimana terdapat dua puncak yang dikenal antara lain Bukit Lemabang (67 meter), dan Bukit Sikarangtuluwe (86 meter), dengan kemiringan antara 5o – 10o.
Penyebaran lain dari satuan morfologi ini adalah terletak di bagian Barat yang dimulai dari Desa Baru 2 sampai Desa Banrong, dan sepanjang garis pantai dimana pada umumnya disusun oleh satuan Alluvial dan satuan Tufa. Di bagian Barat dari kota Pare-Pare dijumpai teluk Pare-Pare yang mempunyai kedalaman antara 5 – 70 meter. 
II.2    Stratigrafi Regional
Menurut RAB SUKAMTO (1982), dalam stratigrafi lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat, dimana sebagai batuan tertua adalah batuan Ultrabasa yang umurnya belum diketahui, sedangkan hasil penarikan radiometri pada batuan Sekis yakni 111 juta tahun atau Kapur Akhir. Batuan tua ini tertindih secara tidak selaras oleh formasi Balangbaru berupa endapan flysch dengan ketebalan lebih dari 2000 meter dan berumur Kapur Akhir. Batuan gunungapi Paleosen yang diendapkan pada lingkungan laut menindih tidak selaras endapan flysch. Sedangkan batuan gunung api tertindih tidak selaras oleh Formasi Mallawa dan berangsur beralih ke endapan karbonat dari Formasi Tonasa yang berumur Eosen – Miosen Tengah secara menerus dengan ketebalan 3000 meter. Formasi Camba secara tidak selaras menindih Formasi Tonasa dengan ketebalan sekitar 5000 meter dan berumur Miosen Tengah – Pliosen. Bagian atas Formasi Camba berhubungan menjemari dengan Formasi Walanae yang tebalnya sekitar 4500 meter dan berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal.
Formasi Walanae disusun oleh batuan Sedimen beumur Miosen – Pliosen dan penyebarannya cukup luas, sedangkan di bagian Barat lebih banyak tersingkap batuan asal gunungapi dan batuan setempat dijumpai batuan Beku terobosan dan batuan Metamorf.
Dan dibeberapa tempat telah mengalami gerakan-gerakan tektonik komplek. Hal ini dibuktikan dengan adanya banyak sesar dengan arah yang tidak beraturan, seperti yang terdapat di daerah Bantimala sebelah Timur Pangkajene.
Dalam tulisan SARTONO dan ASTADIREDJA (1981), yang telah mengadakan penelitian tentang Geologi Kwarter Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa Formasi Walanae yang tersusun atas Lempung dan selang-seling Batugamping Pasiran yang mengandung fosil Mollusca dan Foraminifera kecil yang menunjukkan umur Miosen Akhir. Formasi Walanae tertindih tidak selaras oleh Formasi Berru yang terdiri dari Batupasir selang-seling lapisan Lempung dan Konglomerat di bagian atasnya.
Formasi Berru mengandung fosil Gastropoda, Pelecypoda dan Foraminifera kecil yang menunjukkan umur Pliosen Akhir. Sedangkan di beberapa tempat dijumpai Batugamping berwarna putih, kadang-kadang dijumpai struktur bioturbasi. Kandungan fosil yang dijumpai pada Batugamping ini yakni Foraminifera kecil yang menunjukkan umur Plestosen Bawah.
Di atas Batugamping terdapat satuan kerakal yang terdiri dari berbagai batuan seperti Rijang, Kuarsit, Batuan Malihan, Fosil Kayu, Oksida Besi dan sedikit Batuan Beku, dimana bentuk komponennya membulat. Satuan kerakal polemik (batuan yang memiliki atau mengandung banyak fragmen batuan lain dengan sifat fisik yang berbeda-beda ) bersifat tidak padu dan makin ke atas ukurannya semakin halus, dimana kerakal polemik ini diduga merupakan endapan fluvial yang mengalami penorehan sungai Walanae purba. Endapan Aluvium berupa Lempung, Pasir, Lanau dan Kerakal berasal dari batuan yang telah mengalami denudasi.       
II.2.1   Stratigrafi Lokal
Penyusunan stratigrafi daerah penelitian didasarkan atas ciri-ciri batuan yang dapat diamati di lapangan, meliputi jenis batuan, keseragaman gejala litologi batuan, urutan litologi yang menerus dan dapat dipetakan dalam skala 1 : 25.000.
Dengan dasar penyatuan tersebut di atas maka stratigrafi daerah penelitian yang dipetakan, dapat disusun menjadi 5 (lima) satuan batuan yakni :
1.   Satuan Aluvial
2.   Satuan Breksi Vulkanik
3.   Satuan Batugamping
4.   Satuan Batuan Beku
5.   Satuan Tufa
Empat dari kelima satuan batuan tersebut di atas dapat ditentukan umurnya dengan pertolongan fosil foraminifera planktonik. Pembahasan dari masing-masing satuan batuan dimulai dari yang tua sampai yang muda.

1. Satuan Tufa

Susunan batuan yang dijumpai pada satuan ini ternyata tufa merupakan anggota litologi yang paling dominan, sehingga dinamakan satuan tufa. Satuan dinamakan Satuan Tufa. Satuan Tufa terletak di sebelah utara daerah penelitian dan menempati hampir tiga perempat bagian yaitu pada daerah dengan morfologi yang berelief rendah. Satuan batuan ini diperkirakan memiliki tebal sekitar 800 meter berdasarkan pada penampang A – B.
Satuan batuan ini memiliki kenampakan lapangan berwarna abu-abu kecoklatan, tingkat pelapukan sedang sampai lanjut, dimana perkembangan litologi secra vertikal diawali dengan lempung tufaan dan napal, dan dibagian tengah terdiri dari tufa kasar, sedangkan pada bagian atas terdiri dari tufa halus.
Lempung tufaan yang tersingkap pada daerah penelitian (Desa Tanahmailiye), memperlihatkan perlapisan yang baik dengan ketebalan antara 0.5 – 1.5 meter, kemiringan perlapisan berkisar 120 - 140. Adapun struktur sedimen yang dijumpai berupa struktur laminasi sejajar. Ketebalan batuan yang tersingkap yaitu mencapai 12 meter, dengan arah perlapisan N 1530 / 120 E.
Berdasarkan hasil analisa petrografis, batuan ini berupa lempung tufaan, tekstur klastik halus dengan ukuran mineral sekitar 0.003 mm, dengan kandungan mineral terdiri dari mineral lempung 80 %, gelas vulkanik 15 % dan cangkang fosil 5 %. Cangkang fosil yang dijumpai dalam sayatan tipis tidak dapat ditentukan spesiesnya karena ukurannya terlalu kecil. 
Dari hasil analisa paleontologis, pada batuan ini ternyata mengandung fosil foraminifera kecil jenis planktonik dan bentonik dalam jumlah yang tidak banyak. Species-species foraminifera planktonik yaitu berupa Globigerinoides sacculifer BRADY, Globigerinoides trilobus REUSS, Globoquadrina venezuelana HEDBERG, Globorotalia obesa BOLLI. Dan yang berupa fosil foraminifera bentonik yang dijumpai yaitu Bolivina sp, Bullimina sp dan Uvigerina sp
Berdasarkan atas kandungan fosil foraminifera bentonik tersebut diatas menurut Natland, 1933, mencirikan lingkungan pengendapan pada lingkungan laut zona
IV dengan kedalaman antara 300 – 1000 meter dan temperatur 5 – 80C.
Secara menerus di atas lempung tufaan terdapat Napal, yang tersingkap di daerah Tanahmailiye. Warna segar abu-abu, warna lapuk kehitaman, memperlihatkan perlapisan yang baik dengan ketebalan antara 0.2 – 0.5 meter, kemiringan perlapisan batuan antara 120 – 140. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh ketebalan dari batuan mencapai 3 meter, dengan arah N 1560E / 120.
Dari hasil pengamatan petrografis memperlihatkan tekstur klastik, dengan ukuran mineral lebih kecil dari 0,05 mm. Kandungan mineral terdiri dari Klasit 60 %, mineral Lempung 40 %. Mineral Kalsit sebagian tersusun oleh cangkang fosil dari jenis Foraminifera kecil, dimana spesies dari jenis foraminifera ini tidak dapat ditentukan sebab ukurannya terlalu kecil. 
Sedangkan dari hasil analisa Paleontologis, pada batuan ini mengandung fosil foraminifera kecil dari jenis planktonik dan bentonik. Adapun fosil planktoniknya antara lain Globigerinoides trilobus REUSS, Globigerinoides sacculifer BRADY, Hastigerina aequilateralis BRADY, Orbulina universa D’ORBIGNY. Sedangkan untuk kandungan fosil bentoniknya yang dijumpai antara lain Bulimina sp, Uvigerina sp dan Bolivina sp. Berdasarkan atas kandungan fosil foraminifera bentonik tersebut, maka menurut Natland 1933, mencirikan lingkungan pengendapan pada lingkungan laut zona IV dengan kedalaman antara 300 – 1000 meter dan temperatur antara 50 - 80C.
Pada bagian atas dari batuan napal ini dijumpai sisipan Batupasir dengan kenampakan lapangan berwarna abu-abu keputihan, berbutir halus sampai sedang. Umumnya berlapis dengan ketebalan perlapisan antara 10 – 15 cm. Berdasarkan hasil
pengukuran di desa Tanahmailiye batuan ini memiliki ketebalan 40 – 60 cm.
Pengamatan petrografis pada Batupasir berupa “lithic graywacke”, memperlihatkan tekstur klastik, dengan ukuran mineral antara 0,2 - 1 mm. Kandungan mineral terdiri dari fragmen batuan 60 %, Plagioklas jenis Andesin (An 46) 20 %, mineral bijih 10 % dan mineral Lempung 10 %.
Secara menerus di atas sisipan batupasir dijumpai Tufa kasar, yang tersingkap di desa Tanahmailiye, kota Pare-pare dan Cappagalung. Arah umum dari perlapisannya N 3300E / 80 dan N 3400E / 120, dengan kenampakan lapangan berwarna segar kuning keputihan dan warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir kasar sampai halus. Kadang dijumpai adanya struktur laminasi sejajar, dengan ketebalan perlapisan antara 0.5 – 2 meter. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan di Kampung Mandar, ketebalan batuan ini mencapai 125 meter.
Dari hasil pengamatan petrografis batuan ini berupa “crystal vitric tuff”, memperlihatkan tekstur klastik. Kandungan mineral terdiri dari gelas vulkanik 40 %, Plagioklas jenis Andesin (An 42) 35 %, Hornblende 13 %, Augit 8 % dan mineral bijih 4 %.
Kemudian secara menerus di atas tufa kasar dijumpai Tufa halus, yang tersingkap di pinggir jalan Lapede. Batuan ini memiliki kenampakan lapangan berwarna segar kuning keputihan dan warna lapuk kecoklatan, ukuran butir kurang dari 0.5 mm, dengan ketebalan perlapisan antara 0.2 – 0.6 meter.
Hasil pengamatan petrografis berupa Tufa gelas, memperlihatkan tekstur klastik, dengan ukuran mineral lebih kecil dari 0,1 mm. Kandungan mineral terdiri dari gelas vulkanik 80 – 90 %, Plagioklas 7 %, Piroksin 2 – 5 %, mineral Lempung 4 % dan mineral kedap cahaya 1 – 3 %. Plagioklas dan Piroksin, sulit untuk ditentukan jenisnya, karena ukurannya yang sangat kecil. 
Dari hasil analisa Paleontologis, pada batuan ini terdapat foraminifera kecil jenis planktonik dan bentonik. Species foraminifera planktonik yang dijumpai antara lain : Globorotalia menardii D’ORBIGNY, Globorotalia dutertei D’ORBIGNY, Globigerina bulloides D’ORBIGNY, Globorotalia calida PARKER, Sphaerodinella subdehiscens BLOW, Orbulina universa D’ORBIGNY, Globigerinoides trilobus REUSS, Globigerinoides sacculifer BRADY, Globigerinoides obliquus BOLLI, Globoquadrina venezuelana HEDBERG, Globoquadrina altispira JARVIS & CUSHMAN, Hastigerina aequilateralis BRADY. Dan lainnya. Sedangkan spesies untuk foraminifera jenis bentonik antara lain Bullimina buchiana, Bolovina stritula CUSHMAN dan Uvigerina sp.
Berdasarkan atas kandungan fosil bentonik maka sesuai dengan klasifikasi Natland, 1933, maka batuan tersebut terendapkan pada lingkungan pengendapan laut zona IV dengan kedalaman 300 –1000 meter dan temperatur  antara 50 – 80C.
Berdasarkan atas uraian-uraian litologi telah diinterpretasikan lingkungan pengendapan dari tiap-tiap anggota litologi, maka dapat disimpulkan bahwa satuan tufa terendapkan pada lingkungan laut tenang dan terbuka pada kedalaman 300 – 1000 meter, dengan kisaran temperatur antara 50 - 80 C. Dan secara integral dapat disimpulkan bahwa satuan Tufa diendapkan pada laut dalam dengan susunan pengendapan sama cepat dengan penurunan dasar cekungan.
Adapun umur dari satuan tufa ditentukan berdasarkan kisaran hidup spesies-spesies yang diendapkan pada contoh batuan 63-a, 63-b, 58 dan contoh batuan 1, kemudian dibandingkan dengan kisaran hidup menurut Postuma (1971) dan Blow (1969). Umur batas bawah satuan ini ditentukan dengan awal pemunculan dari Hastigerina aequilateralis BRADY, yang didapat pada bagian bawah dari satuan ini. Sedangkan batas atas ditentukan dengan punahnya Globorotalia obesa BOLLI dan awal pemunculan dari Globorotalia dutertrei D’ORBIGNY.
Berdasarkan atas hal-hal yang dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan bahwa umur satuan ini adalah  antara zona Globorotalia siakensis bagian bawah sampai zona Globorotalia dutertrei, (N.14 – N.18), atau dapat disetarakan dengan Kala Miosen Tengah bagian atas sampai Kala Pliosen Bawah.
Hubungan antara satuan tufa dengan satuan dibawahnya tidak diketahui sebab tidak tersingkap / dijumpai di daerah penelitian. Setelah melihat persamaan litologi dan penyebaran geografis yang sangat dekat dengan formasi Walanae dapat dikorelasikan.  Jadi dalam kerangka stratigrafi regional, satuan tufa mempunyai nilai kesebandingan dengan formasi  Walanae.
2.  Satuan Batuan Beku Andesitik
Satuan batuan beku Andesitik merupakan batuan intrusi dalam bentuk gang, dimana batuan yang terintrusi adalah satuan tufa. Satuan batuan ini dijumpai di daerah Tanjung Torang disebelah Utara Lumpus. Sedang kontak intrusi dijumpai di tepi jalan Kampung Lemoe.
Secara umum satuan ini memiliki kenampakan lapangan berwarna segar abu-abu kehitaman, dengan warna lapuk kehitaman, tekstur porphiroafanitik dan strukturnya massive.
Hasil pengamatan secara petrografis, berupa batuan beku Andesit, tekstur porfiritik. Kandungan mineral terdiri dari Plagioklas jenis Andesin (An 45) 70 – 80 %, Augit 5 – 7 %, Biotit 8 – 10 %, Hornblende 2 – 3 %, Feldsfar 10 – 15 % sebagai massa dasar dan sulit untuk menetukan jenisnya. Pada umumnya bentuk dari mineral-mineralnya “euhedral” dan “subhedral”, sedangkan massa dasarnya berupa mikrolit-mikrolit. Kehadiran Augit dan Hornblende hanya sebagai mineral tambahan.
Umur dari satuan ini diperkirakan Pliosen Bawah yakni setelah terbentuknya satuan batuan tufa, dimana kontak intrusi dari kedua satuan ini dijumpai di kampung Lemoe dan yang diterobos hanya satuan tufa. 

3.      Satuan Batugamping

Satuan batugamping ditemukan tersingkap pada daerah Ujunglero bagian Utara, dan menempati daerah yang morfologinya berelief rendah. Berdasarkan pengukuran disebelah Selatan Desa Tanahmailiye, maka dapat diketahui bahwa tebal dari satuan ini adalah 75 – 80 meter, dengan arah umum N 1560E / 120.
Secara umum batuan ini memiliki kenampakan lapangan berwarna segar kuning-kuning keputihan, warna lapuk kecoklatan, dengan ketebalan perlapisan 0.5 – 1 meter.
Berdasarkan pengamatan petrografis berupa kalkarenit, memperlihatkan tekstur klastik, dengan ukuran mineral lebih kecil dari 1,5 mm. Kandungan mineral terdiri dari kalsit 80%, mineral Lempung 10%, kuarsa 2 % dan mineral bijih 3 %. Kalsit terlihat sebagai fragmen dan sebagian sebagai penyusun test foraminifera yang telah rusak, bentuk mineralnya membulat tanggung, sedang mineral lempung penyebarannya tidak merata.
Pengamatan secara Paleontologi pada satuan batuan ini dijumpai fosil foraminfera kecil jenis plaktonik dan bentonik. Spesies foraminifera planktonik yang ditemukan antara lain : Globigerinoides trilobus REUSS, Globigerinoides fistulosus SCHUBERT, Globigerinoides ruber D’ORBIGNY, Globigerinoides conglobatus BRADY, Globorotalia dutertei D’OEBIGNY, Globorotalia tosaensis TAKANAYAGI & SAITO, Globorotalia tumida BRADY, Sphaerodinella dehiscens PARKER & JONES, Orbulina universa D’ORBIGNY, dan Pulleniatina obliquiloqulata PARKER & JONES. Sedangkan untuk fosil bentonik antara lain Elphidium sp, Eponides sp, Cibicides sp, Nodosaria sp, Bulimina sp, dan Robulus sp. Berdasarkan atas kandungan fosil foraminifera bentonik tersebut, maka berdasarkan klasifikasi Natland 1933, batuan ini terendapkan pada lingkungan pengendapan laut zona II dengan kedalaman 15 – 90 meter dan temperatur berkisar 30 - 160C.
Pada uraian litologi di atas, maka dapat disimpulkan secara keseluruhan batugamping terendapkan pada lingkungan pengendapan zona II pada laut terbuka dengan kedalaman 15 - 90 meter dan temperatur berkisar 30 - 160C.
Umur dari satuan batuan ini ditentukan berdasarkan kisran hidup spesies-spesies foraminifera planktonik yang dijumpai, kemudian dibandingkan dengan daftar kisaran hidup pada zonasi dari Postuma (1971) dan Blow (1969). Umur batas bawah dari satuan ini ditentukan dengan terdapatnya Globigerinoides ruber D’ORBIGNY, Globorotalia tumida BRADY, dan Globorotalia dutertrei D’ORBIGNY. Sedangkan umur batas atas ditentukan berdasarkan punahnya Globoquadrina altispira CUSHMAN & JARVIS, dan awal pemunculan dari Globorotalia tosaenssis TAKANAYAGI & SAITO.
Berdasarkan atas hal yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan bahwa umur dari satuan batugamping adalah antara zona Globorotalia margaritae bagian Bawah dengan Zona Globorotalia tosaensis pada bagian atas, (N.18 – N.21), atau dapat disetarakan dengan Kala Pliosen Bawah sampai Kala Pliosen Atas.
Hubungan antara satuan batugamping dengan satuan tufa yang berada dibawahnya, tidak dijumpai adanya ketidak selarasan. Pada kontak antara kedua satuan ini terlihat adanya perselingan batugamping dengan tufa, menunjukkan hubungan satuan batuan selaras.

4.  Satuan Breksi Vulkanik

Satuan Breksi vulkanik ditemukan tersingkap hampir seperempat bagian pada daerah penelitian yakni berada di bagian Selatan daerah penelitian dan menempati daerah yang morfologinya berelief sedang serta merupakan litologi penyusun pada daerah perbukitan. Berdasarkan penampang geologi D – E, maka tebal satuan ini antara 275 – 375 meter.
Secara umum satuan ini memilki kenampakan lapangan berwarna segar abu-abu kehitaman dengan tingkat pelapukan sedang dengan hasil pelapukan berwarna coklat kehitaman. Bentuk fragmen angular dengan ukuran rata-rata antara 2 – 20 cm, kadang-kadang dijumpai fragmen yang berukuran sampai 40 cm, sedangkan matriksnya berupa tufa yang berwarna kuning keputihan dan berukuran pasir. Perkembangan litologi secara vertikal dan horizontal relatif konstan.
Pengamatan petrografis pada fragmen berupa andesit, memperlihatkan tekstur porfiritik. Kandungan mineral terdiri dari Plagioklas 70 – 80 %, Piroksin 3 – 8 %, Hornblende 2 – 5 %, Feldsfar 15 – 20 % dan mineral bijih 2 – 4 %. Pada umumnya bentuk mineral “ëuhedral”dan “subhedral”. Mineral utamanya adalah plagioklas jenis Andesin (An 40 – An 42), massa dasar berupa mikrolit-mikrolit feldsfar, sedangkan kehadiran Augit dan Hornblende sebagai mineral tambahan.
Pengamatan petrografis pada matrik berupa “lithic crystal tuff”, memperlihatkan tekstur klastik. Kandungan mineral terdiri dari fragmen batuan 40 -60 %, Plagioklas jenis Andesin (An 44) 25 – 30 %, gelas vulkanik 10 – 20 %, mineral bijih 5 % dan mineral Lempung 7 %.
Adapun umur dari satuan breksi vulkanik ini diperkirakan berumur Plistosen berdasarkan data-data yang dijumpai di lapangan, dimana hubungan antara satuan batuan ini dengan satuan batuan batugamping di bawahnya tidak selaras.
Lingkungan pengendapan dari satuan breksi vulkanik dimana tidak dijumpai fosil foraminifera bentonik sebagai penciri lingkungan pengendapan, namun berdasarkan sifat fisik yang diperoleh di lapangan menunjukkan sortasi jelek, pemilahan buruk dan tidak kompak, bentuk fragmen menyudut dan dijumpai adanya fosil kayu, sehingga disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan satuan breksi vulkanik adalah lingkungan darat.
Dengan melihat persamaan litologi dan penyebaran geografisnya yang sangat dekat dengan lokasi tipe, ternyata satuan breksi vullkanik dapat dikorelasikan dengan gunungapi Pare-Pare, dimana terendapkan  pada lingkungan darat. Jadi dalam hubungan stratigrafi regional, satuan breksi vulkanik sama dengan satuan batuan gunungapi Pare-Pare yang berumur Plistosen (RAB SUKAMTO, 1982).

5.   Satuan Alluvial

Penamaan satuan ini didasarkan atas waktu terbentuknya yakni pada zaman Alluvium. Di daerah penelitian satuan ini terdiri dari endapan pantai dan endapan sungai. Secara umum satuan ini disusun oleh gravel, pasir dan lempung, berwarna kecoklatan sampai kelabu dan merupakan hasil pelapukan batuan di sekitarnya yang diangkut dengan media air ke tempat yang lebih rendah.
Gravel yang dijumpai berupa pecahan-pecahan batuan beku, juga dijumpai rombakan-rombakan batuan sedimen lainnya, kadang–kadang berbentuk membulat, oval, yang mencirikan adanya proses transportasi air. Satuan ini terletak tidak selaras dengan batuan yang ada di bawahnya. Kontak ketidakselarasan dapat dijumpai pada tebing-tebing sungai berupa ketidak selarasan menyudut.
Secara umum litologi penyusun dari satuan ini berupa fragmen-fragmen batuan beku andesit yang berukuran kerikil sampai bongkah. Satuan ini belum mengalami sedimentasi dan litifikasi dan kompaksi, dengan demikian disimpulkan bahwa batuan ini merupakan endapan sungai muda. Penyebaran satuan ini umumnya di daerah pantai, dengan ketebalan antara 1.5 – 2.5 meter.
Sedangkan endapan pantai yang dijumpai berupa material-material lepas yang terdiri dari lempung, pasir dan cangkang-cangkang binatang laut.
II.3    Struktur Geologi Regional
Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian berupa struktur sesar dari jenis sesar geser, dalam hal ini disimpulkan berdasarkan pada data serta kenampakan lapangan, penyebaran litologi yang tidak teratur, dan adanya perubahan jurus dan kemiringan perlapisan batuan yang terlalu besar. Adapun struktur sesar yang dijumpai di lapangan dimulai dari yang tua sampai yang muda yaitu :
1.   Sesar Tolong
2.   Sesar Ujunglere
3.   Sesar Bacukiki
4.   Sesar Bojo.
II.3.1   Sesar Tolong
Sesar ini diberi nama sesar Tolong sebab terdapat di daerah Bukit Tolong sebelah Timur. Sesar Tolong adalah merupakan jenis sesar geser yang berarah Baratdaya – Timurlaut, dimana dijumpai cermin sesar atau “slickenslide”, yang ditemukan pada Kampung Mangimpuru.
Umur dari sesar Tolong, dimana satuan batuan yang tergeser adalah satuan Tufa yang berumur antara Miosen Tengah – Pliosen Bawah, maka dapat disimpulkan bahwa umur dari sesar Tolong adalah setelah Pliosen Bawah.

II.3.2   Sesar Ujunglero
Sesar ini diberi nama sesar Ujunglero sebab struktur sesar ini terdapat di daerah Ujunglero sebelah Utara. Sesar Ujunglero adalah merupakan jenis sesar geser yang berarah Baratdaya - -Timurlaut, dimana penyebaran Batugamping yang tidak teratur dan keterdapatan tebing yang relatif lurus melalui zona sesar, serta adanya perubahan jurus dan kemiringan perlapisan batuan.  
Umur dari sesar Ujunglero dapat diketahui dari jenis batuan yang tergeser, dimana pada sekitar daerah pensesran dijumpai satuan Batubara dan ditemukan bahwa pada gejala struktur ini satuan yang tergeser adalah satuan Batugamping yang berumur antara Pliosen Bawah – Pliosen Atas, maka dapat disimpulkan bahwa umur dari sesar Ujunglero adalah setelah Pliosen Atas.
II.3.3   Sesar Bacukiki
Sesar ini diberi nama Sesar Bacukiki, oleh karena arah dari struktur sesar ini melalui desa Bacukiki yaitu berarah Timur – Barat, dimana dijumpai adanya cermin sesar atau “slickenslide”, yang terdapat di desa Bacukiki.
Umur dari sesar Bacukiki, dimana satuan batuan yang bergeser penyebarannya adalah satuan Breksi Vulkanik yang berumur Plestosen, maka dapat disimpulkan bahwa umur dari sesar geser Bacukiki adalah setelah Plestosen.
II.3.4   Sesar Bojo
Sesar ini diberi nama Sesar Bojo, sebab struktur sesar ini melalui Sungai Bojo, dimana sesar ini merupakan jenis sesar geser yang berarah Timur – Barat, dan dijumpai adanya cermin sesar atau “slickenslide”, yang ditemukan di tepi Sungai Bojo.
Umur dari sesar Bojo, ditentukan dari batuan yang mengalami pensesaran, dimana satuan batuan yang mengalami pergeseran akibat dari sesar ini adalah satuan Breksi Vulkanik yang berumur Plestosen, maka dapat disimpulkan bahwa umur dari sesar Bojo ini adalah setelah Plestosen.
 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar